oleh : Bintang Nugroho, Analis Anggaran Muda pada Sekretariat BPSDMI
Re-Inventing: Daya Saing Global
Daya saing telah digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui tingkat kemajuan suatu entitas tertentu termasuk negara, terutama untuk mengukur tingkat kesiapan inovasi, terlebih setelah komunitas bangsa-bangsa semakin terbuka dalam persaingan global yang ketat dan tajam. Demikian pula, globalisasi telah menjadi keniscayaan bagi suatu negara karena batas-batas bangsa semakin terbuka, akan menggilas negara yang tidak siap menghadapi fenomena ini. Tidak gampang, menghimpun, memilih, dan menimbang kekuatan suatu negara untuk dipentaskan di panggung dunia sebagai branding pembangunan berbasis IPTEK. Banyak bangsa yang gagal dalam meningkatkan daya saing bukan saja disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam menguasai teknologi, namun juga karena faktor lingkungan strategis yang melingkupinya, seperti korupsi, birokrasi yang tidak efisien, masalah infrastruktur, akses permodalan, kebijakan yang tidak kondusif serta etika kerja yang rendah. Daya saing yang lemah menyebabkan pertumbuhan ekonomi sangat rentan terhadap pengaruh dinamika lingkungan dan karenanya mudah tertimpa krisis ekonomi yang berkelanjutan.
Perekonomian suatu negara akan bangkit menjadi perekonomian yang kuat, tangguh dan terhormat jika indeks daya saing berada pada tingkat yang tinggi, seperti Korea, Jepang, Singapura, dan Malaysia. Perlu dicatat bahwa membangun perekonomian yang berdaya saing tidak semudah membalik tangan, melainkan harus ditunjang dengan basis industri yang mantap dan tangguh, mengandalkan teknologi tinggi sehingga mampu menciptakan nilai tambah yang memadai. Sebaliknya dengan fondasi yang rapuh, ekonomi suatu negara akan mudah masuk kedalam “Valley of Death” dan akan menghentikan sejarah pencapaian pertumbuhan untuk selamanya. Setidaknya ada 4 (empat) faktor utama daya saing yang telah diteliti oleh Michael Porter pada tahun 1990, yaitu: (1) strategi, struktur dan tingkat persaingan usaha, untuk menggerakkan sub sistem dalam perusahaan melalui engorganisasian, pengembangan usaha, dan tata kelola yang baik; (2) faktor kondisi, bagaimana ketersediaan sumber daya di suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, modal, dan infrastruktur; (3) permintaan dalam negeri antara lain terhadap produk barang dan jasa industri, khususnya hasil industri yang berpengaruh terhadap keunggulan kompetitif sektor industri. Dalam hal ini pelanggan dalam negeri akan menentukan jenis produk yang dibutuhkan sehingga improvement secara kontinu selalu diperlukan; serta (4) industri pendukung untuk memasok bahan baku atau suku cadang sehingga mampu bersaing di tingkat global.
Korelasi antara industri utama dengan industri pendukung sangat erat, karena kualitas produk industri utama sangat ditentukan oleh kualitas industri pendukung. Porter menegaskan, Inter-dependensi terhadap ketiga faktor tersebut sangatlah tinggi, lemahnya satu faktor akan memengaruhi yang lain dan akibatnya akan terjadi gagal tumbuh daya saing dalam suatu negara secara tak berkesudahan. Kekuatan sebuah negara yang tergantung dari produktivitas, ekonomi dan kekhasan, menjadi pilar kokoh bagi sebuah negara di era global. Asean Competitiveness Institute (ACI) Lee Kuan Yew School of Public Policy NUS Singapore, merilis Competitiveness Analysis of ASEAN-10 Countries and Indonesian Provinces pada tahun 2016, yang bertujuan memberikan informasi dalam kemudahan melakukan usaha di 34 (tiga puluh empat) provinsi di Indonesia, melihat tantangan regional dan solusinya untuk kemajuan Indonesia. Dalam mengukur daya saing regional Indonesia, ACI menggunakan 4 (empat) variabel penting, 12 (dua belas) sub variabel dan 103 (seratus tiga) indikator. Keempat variabel itu adalah: (1) Kestabilan Makroekonomi (Macroeconomy Stability), (2) Pemerintah dan Pengaturan Kelembagaan (Government and Institutional Setting), (3) Kondisi Tenaga Kerja, Keuangan dan Usaha (Financial, Business and Manpower Conditions), dan (4) Pengembangan Infrastruktur dan Kualitas Hidup (Quality of Life and Infrastructure Development).
Total Factor Productivity sebagai Kunci Daya Saing
Produktivitas adalah perbandingan antara hasil produksi (output) dengan sumber daya produksi (input) (Rasmussen, 2013). Produktivitas kerja dikatakan tinggi jika hasil yang diperoleh lebih besar dari pada sumber kerja yang digunakan (Hadari & Hadawi, 1990). Faktor-faktor penentu untuk mencapai produktivitas yaitu investasi, teknologi, manajemen, serta keterampilan dari tenaga kerja (Sinungan, 2003). Produktivitas diukur dengan Produktivitas Kerja atau Work Productivity (WP) dan/atau Total Factor Productivity (TFP). TFP merupakan rasio antara output total terhadap input total (Coelli et al., 2005). Produktivitas sendiri merupakan penentu daya saing individu, industri, dan negara. Jika dibandingkan dengan sektor lain, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap PDB Indonesia. Hal ini berarti bahwa industri pengolahan menjadi leading sector bagi sektor-sektor yang lain dan merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia (Kurniawaty, 2016).
Produktivitas pada industri ditentukan oleh proses produksi, di mana fungsi produksi Cobb-Douglas menunjukkan bahwa input kapital dan tenaga kerja adalah input yang paling penting dalam proses produksi. Fungsi produksi menunjukkan bahwa output tergantung dari penggunaan input dan tingkat teknologi. Dengan demikian input yang digunakan dalam proses produksi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu input faktor produksi, kapital dan tenaga kerja, sedangkan input yang lain adalah teknologi, teknik produksi yang efisien yang dapat dilihat melalui tingkat produktivitas. Semakin banyak input faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi maka output sektor industri tersebut juga akan semakin banyak. Atau output sektor industri akan dapat bertambah banyak dengan input faktor produksi yang tetap tetapi dengan penggunaan input yang lebih produktif bisa dilakukan dengan adanya manajemen produksi yang lebih baik atau adanya teknik produksi yang lebih efisien. Sehingga kenaikan output sektor industri bisa disebabkan oleh penggunaan input yang lebih banyak (input driven) atau dengan adanya peningkatan produktivitas (productivity driven) (Dornbusch et al., 2001).
Pertumbuhan produktivitas dibagi menjadi technical change atau pergerakan dalam batas teknologi bagi subsektor tertentu, dan catching-up yang menggambarkan peningkatan dalam produktivitas yang akan membawa suatu negara mendekati seimbang antara bangsa (global frontier) (Färe et al., 1998). Daya saing level negara diukur dengan Global Competitiveness Index (CGI) yang merupakan indeks untuk mengukur progres perkembangan faktor-faktor yang memengaruhi produktivitas suatu negara. CGI mengukur seberapa efisien penggunaan faktor produksi untuk memaksimalkan produktivitas atau TFP dan mencapai pertumbuhan ekonomi.
CGI sejak tahun 2018 sudah disesuaikan dengan Revolusi Industri 4.0, dan disebut CGI 4.0. Faktor-faktor yang menentukan CGI antara lain lingkungan yang mendukung/kondusif (enabling environment), modal manusia (human capital), aspek pasar (markets), dan ekosistem inovasi (innovation ecosystem) (Anonim, 2019). The Asian Productivity Organization (APO), melaporkan pertumbuhan TFP Indonesia tahun 1970–1990, 1990-2010, dan 2010-2017 masing-masing sebesar 0,3; -1,1; dan -1,5, terendah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN (APO, 2019). Peringkat CGI Indonesia dalam laporan World Economic Forum (WEF) turun dari peringkat 45 dari 140 negara pada tahun 2018 menjadi peringkat 50 dari 141 negara pada tahun 2019
Sumber Daya Manusia sebagai Kunci Daya Saing
Peningkatan produktivitas melalui kebijakan penguatan kualitas sumber daya manusia perlu dilakukan untuk meningkatkan daya saing. Perbaikan kualitas sumber daya manusia dapat berkontribusi dengan meningkatkan ketersediaan tenaga kerja berkeahlian tinggi (skilled labor). Rifin (2017) menjelaskan bahwa industri perlu untuk meningkatkan skill pekerja agar dapat berkontribusi lebih besar terhadap output yang dihasilkan. Kendati memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang banyak dan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia memiliki kualitas sumber daya manusia yang masih rendah. Karena kualitas rendah, maka produktivitas tenaga kerja Indonesia juga rendah. Peningkatan daya saing bangsa dilakukan dengan membangun SDM Indonesia, sehingga membangun kompetensi dan keterampilannya penting untuk dilakukan. Kalangan industri seringkali mengeluhkan kualitas SDM yang dihasilkan oleh dunia pendidikan di Indonesia. Masih ada gapantara kompetensi yang dihasilkan oleh dunia pendidikan dengan standar kompetensi industri. Kondisi ini menyebabkan bebarapa industri mempunyai Lembaga Pendidikan sendiri salah satunya adalah Astra group yang memiliki Politeknik Astra sebagai pusat pelatihan dan pengembangan karyawan.
Pemerintah saat ini telah melakukan pengembangan pendidikan vokasi dan peningkatan kualitas tenaga pengajar melalui program yang dilaksanakan secara inklusif di seluruh wilayah Indonesia, mencakup daerah terdepan, tertinggal, dan terluar (3T). Selain itu, Pemerintah perlu berkolaborasi dengan industri/swasta memberikan program pengembangan kompetensi kerja dan kewirausahaan, antara lain melalui implementasi Program Kartu Prakerja. Program Kartu Prakerja tersebut diprakirakan terus berlanjut dalam jangka menengah untuk meningkatkan ketersediaan tenaga kerja berkeahlian dan mendorong perbaikan produktivitas. Pengembangan industri yang berkualitas memerlukan SDM yang andal dengan kompetensi di bidang industri serta penguasaan teknologi. Peta jalan Making Indonesia 4.0 menjadi arah dan strategi yang jelas dalam upaya mengembangkan industri manufaktur nasional agar lebih berdaya saing global di era digital. Aspirasi besarnya adalah menjadikan Indonesia masuk dalam jajaran 10 (sepuluh) negara yang memiliki perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030. Guna mencapai sasaran tersebut, salah satu program prioritas di dalam Making Indonesia 4.0, yakni meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) agar semakin kompeten, khususnya di sektor industri. SDM Industri kompeten menjadi salah satu kunci utama dalam mendongkrak kemampuan industri, selain melalui investasi dan teknologi. SDM industri berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Sebab, tenaga kerja di sektor manufaktur menyumbang cukup besar dari total pekerja di Indonesia. SDMindustri perlu didorong untuk memanfaatkan teknologi terkini agar dapat memacu produktivitas dan inovasi. Adapun lima teknologi digital sebagai fundamental dalam kesiapan memasuki era revolusi industri 4.0, di antaranya artificial intelligence, internet of things, wearables (augmented reality dan virtual reality), advanced robotics, serta 3D printing. Melalui program Making Indonesia 4.0 dapat menghasilkan SDM industri yang kompeten dengan teknologi digital sehingga kegiatan produksi semakin efisien, produktif, dan inovatif. Ini tentunya akan mendongkrak daya saing manufaktur di pasar domestik hingga global (Anonim, 2019).
Teknologi sebagai Kunci Daya Saing
Industrialisasi merupakan kunci keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Negara-negara di Eropa mentransformasi diri menjadi negara-negara maju melalui revolusi industri pada abad ke-18. Penemuan teknologi mesin uap saat itu mendorong peningkatan drastis produktivitas di sektor industri manufaktur. Tidak hanya itu, penggunaan teknologi tersebut kemudian berkembang pada sektor transportasi sehingga mendisrupsi aktivitas perdagangan. Industrialisasi juga menjadi faktor kunci bagi Amerika Serikat, Tiongkok, dan Korea Selatan untuk tampil dalam kancah global sebagai kekuatan ekonomi dunia. Inovasi merupakan penentu pertumbuhan produktivitas (Brynjolfsson & McAfee, 2014). Pertumbuhan produktivitas bukan hanya tentang bagaimana menurunkan biaya, tetapi juga memproduksi produk lebih banyak tanpa menurunkan kualitas. Hal tersebut dapat dimungkinkan dengan adanya penerapan teknologi dan inovasi. Teori Produksi Cobb-Douglas merupakan model yang menggambarkan pengaruh teknologi terhadap produktivitas perusahaan industri manufaktur (de la Fuente-Mella et al., 2019), yang menyatakan bahwa peningkatan teknologi memungkinkan perusahaan untuk memproduksi output lebih banyak dari jumlah sebelumnya dengan menggunakan input dalam jumlah yang sama. Pertumbuhan produktivitas tenaga dipengaruhi oleh peningkatan teknologi sehingga memungkinkan tenaga kerja untuk menggunakan faktor produksi lainnya dengan efektif (Pindyck & Rubinfeld, 2013).
Indonesia merupakan negara dengan potensi SDA dan SDM yang melimpah. Industri yang berbasis SDA memiliki keunggulan komparatif pada produk primer, sedangkan industri berbasis SDM memiliki keunggulan dalam produk padat teknologi. Keunggulan komparatif dicapai melalui melalui penguasaan teknologi untuk mengelola sumber daya. Negara yang menguasai teknologi, dalam persaingan global akan lebih diuntungkan daripada negara yang hanya menguasai sumber daya alam. Kebaruan teknologi mampu mendorong industri beroperasi secara efisien dan meningkatkan produktivitas. penggunaan teknologi terbarukan di Indonesia dapat dikatakan masih sangat kecil (Fazri et al., 2018), sehingga sudah saatnya adanya transfer teknologi untuk kemajuan industri di Indonesia. Pemilihan teknologi tidak hanya berfokus pada capaian volume (kuantitas), tetapi juga menghasilkan output dengan kualitas sesuai standardisasi pasar internasional. Tercapainya industri yang efisien secara teknis diharapkan mampu meningkatkan produktivitas sebagai tolok ukur keberhasilan. Indonesia juga termasuk ke dalam salah satu negara yang memiliki potensi besar dalam mengembangkan kemampuan inovasi dalam mengejar ketertinggalan dari negara maju, bahkan Indonesia masuk ke dalam salah satu jajaran inovator teratas di antara negara-negara berkembang pada tahun 2017-2018. Namun untuk kesiapan dalam peningkatan teknologi, Indonesia masih tertinggal jauh di belakang, selain itu teknologi di Indonesia masih belum menyebar secara merata dalam masyarakat.
Pada tahun 2018 Presiden RI telah meluncurkan “Making Indonesia 4.0”. Melalui Making Indonesia 4.0 diharapkan Indonesia akan menjadi top 10 ekonomi global dengan net ekspor mencapai 10% PDB, meningkatkan produktivitas industri hingga 2 kali lipat, dan membangun kemampuan inovasi lokal dengan meningkatkan alokasi pembiayan R&D mencapai 2% PDB. Untuk mencapai aspirasi tersebut, telah ditetapkan 10 (sepuluh) prioritas nasional dalam Peta Jalan Making Indonesia 4.0, antara lain : 1) Perbaikan alur aliran barang dan material, 2) Desain ulang zona industri, 3) Akomodasi standar-standar keberlanjutan (sustainability), 4) Pemberdayaan IKM, 5) Membangun infrastruktur digital nasional, 6) Menarik minat investasi asing, 7) Peningkatan kualitas SDM, 8) Pembangunan ekosistem inovasi, 9) Insentif untuk investasi teknologi, dan 10) Harmonisasi aturan dan kebijakan.
Untuk mengakselerasi implementasi Making Indonesia 4.0 Kementerian Perindustrian telah mengidentifikasi dan memilih 5 (lima) sektor Making Indonesia 4.0 berdasarkan dampak yang akan dihasilkan dan kemudahan implementasinya. Kelima sektor tersebut adalah Industri Makanan dan Minuman, Tekstil dan Pakaian Jadi, Otomotif, Kimia, dan Elektronik yang kelimanya memberikan kontribusi mencapai 70% terhadap PDB Industri, 65% ekspor industri, dan 60% tenaga kerja sektor industri manufaktur. Dengan adanya pandemi COVID-19 sejak awal tahun 2020 ini, Kementerian Perindustrian juga menambahkan fokus akselerasi pada sektor industri farmasi dan alat Kesehatan. Kajian yang dilakukan oleh Mc. Kinsey pada tahun 2019 menunjukkan bahwa implementasi industri 4.0 memberikan peluang yang siginifikan berupa peningkatan PDB sampai dengan 120 Miliar Dolar USD pada tahun 2025, peningkatan produktivitas mencapai 40%-70% pada tahun 2025 serta penciptaan lebih kurang 20 juta pekerjaan baru pada tahun 2030. Namun demikian, implementasi industri 4.0 di Indonesia masih memiliki beberapa tantangan yaitu masih rendahnya tingkat adopsi industri 4.0, hanya 21% dari total industri, dan sebanyak 79% diantaranya masih terjebak dalam tahapan uji coba (pilot) tanpa melakukan scale up. Selain itu, untuk mendorong terwujudnya implementasi industri 4.0 terdapat pula tantangan re-skilling dan up-skilling tenaga kerja mencapai 6 hingga 29 juta pekerjaan pada tahun 2030. Tantangan ini tentunya perlu disikapi dengan menyiapkan infrastruktur inovasi dan kompetensi serta SDM yang unggul untuk mengakselerasi transformasi industri 4.0 di Indonesia
Apa itu Corporate University?
Dunia menghadapi inovasi digital dan tantangan globalisasi, oleh karena itu, SDM dalam organisasi harus meningkatkan keterampilan dan kompetensi mereka untuk beradaptasi dengan perkembangan saat ini. Selain itu, karena meningkatnya ketergantungan pada SDM dengan keahlian tertentu, organisasi memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, perencanaan strategi yang akan berkontribusi pada keunggulan kompetitif (Ilyas, 2017). Keunggulan kompetitif di masa lalu ditentukan oleh aset fisik/mesin dan modal, tetapi saat ini berganti menjadi aset SDM. SDM merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting dalam mendorong pertumbuhan dan kemajuan ekonomi suatu negara. Namun dari sudut pandang yang lain meningkatnya tenaga kerja justru sering kali menjadi persoalan ekonomi yang sulit untuk diselesaikan oleh pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah link and match antara dunia pendidikan dan industri belum optimal sehingga tenaga kerja tidak terserap secara optimal. Saat ini terdapat beberapa tantangan SDM industri (Kolo et al., 2013) di era globalisasi dan inovasi digital, antara lain:
- A graying workforce, hal ini disebabkan karena ketergantungan industri terhadap tenaga kerja usia 65 (enam puluh lima) tahun ke atas untuk menjaga agar keterampilan/skill tetap ada.
- Harapan generasi Y yang terlalu tinggi terhadap kesempatan berkembang dan gaji yang diperoleh. Seringkali hal ini menjadi alasan untuk keluar dari perusahaan, sehingga perusahaan harus mencari SDM pengganti.
- Kepemimpinan sebagai salah satu tuntutan pada era globalisasi. Seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan beradaptasi dan multitasking.
- Gap tenaga kerja dan pasar yang disebabkan karena rendahnya mutu SDM sebagai akibat dari rendahnya tingkat pendidikan, kompetensi kerja, dan kecocokan skill dengan pekerjaan. Ketidaksesuaian antara perusahaan dan tenaga kerja dalam mendapatkan pekerja dan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian juga merupakan permasalahan dalam menciptakan pengangguran
Pemerintah perlu berperan untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Peningkatan produktivitas dan daya saing industri dapat diukur berdasarkan kompetensi/skill. Perlu dilakukan strategi prioritas untuk menghasilkan SDM industri sesuai kebutuhan industri. Terobosan pemanfaatan teknologi dan inovasi dapat menumbuhkan terbentuknya ekosistem inovasi. Pengetahuan dan pembelajaran yang diperbarui bagi individu dan organisasi diperlukan pada era inovasi digital saat ini. Clinton, Merritt, & Murray, (2009) menyarankan bahwa sebuah organisasi harus memberi para pekerjanya kemampuan untuk mengubah keterampilan dan pengetahuan mereka secara terus-menerus dan melatih diri mereka dengan keterampilan di luar pelatihan di tempat kerja. Program yang efektif untuk melakukan ini adalah “Corporate University (CorpU)”. CorpU adalah entitas pendidikan yang merupakan alat strategis dan dirancang untuk membantu organisasi induk dalam mencapai misinya dengan melakukan kegiatan yang dapat menumbuhkan atau meningkatkan pembelajaran, pengetahuan, dan kebijaksanaan baik individu maupun organisasi (Allen, 2002).CorpU menawarkan kepada SDM kesempatan untuk menambah value pengetahuan dan keterampilan, dan selanjutnya SDM harus memberikan output untuk organisasi melalui inovasi, efisiensi, dan produktivitas. CorpU selain berguna untuk mengembangkan karier SDM juga bertujuan untuk mengembangkan bisnis. CorpU dapat menambah nilai bagi bisnis dalam hal pendapatan dan laba, peningkatan retensi pelanggan, produktivitas karyawan, pengurangan biaya, dan retensi karyawan berbakat (Ilyas, 2017). CorpU merupakan “pabrik” yang melakukan rangkaian proses pemerolehan, pembentukan, penyimpanan, penyebarluasan, dan penerapan pengetahuan organisasi kepada seluruh SDM. CorpU merupakan fasilitas dan strategi organisasi untuk menjadikan semua SDM belajar terus menerus (knowledged worker) dan saling berbagi pengetahuan secara berkesinambungan. CorpU memberikan kesempatan seluruh komponen organisasi untuk terlibat serta terkoneksi dalam ekosistem pengetahuan untuk meningkatkan produktivitas (Khamdan, 2020).
Anggaran Corporate University
Dengan semua kelebihan yang dimiliki oleh Corpu, berapa alokasi anggaran yang harus disiapkan untuk mempersiapkan Corpu? Sebagai contoh PT Bank Negara Indonesia (BNI) mengalokasikan dana Rp 400 miliar untuk lembaga pengembangan kompetensi pegawainya, yakni BNI Corporate University. Jumlah itu sekitar 5 persen dari total anggaran Sumber Daya Manusia atau Human Capital (HC) Cost perseroan pada 2019. Sekitar 26 persen dari Rp 400 miliar itu akan dianggarkan bagi salah satu program pembelajaran, yakni BNI Learning Wallet (BLW). Kementerian Perindustrian sendiri melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri (BPSDMI) telah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 1009 Tahun 2021 tentang Pengembangan Vokasi Industri Bertaraf Global Menuju Corporate University BPSDMI Kementerian Perindustrian. Dengan adanya kepmen ini maka BPSDMI bertanggung jawab untuk melaksanakan Corporate University dalam rangka penyiapan SDM Industri yang kompeten dan bertaraf global. Sehingga seluruh anggaran yang ada di BPSDMI secara otomatis menjadi alokasi anggaran yang disiapkan Kementerian Perindustrian untuk mempersiapkan Corpu. Adapun anggaran BPSDMI pada Tahun Anggaran 2022 adalah sebesar Rp. 982 Milliar. Jumlah itu sekitar 34% dari total anggaran Kementerian Perindustrian sebesar Rp. 2,8 Triliun. Dengan alokasi anggaran yang sedemikian besar itu diharapkan agar Corporate University Kementerian Perindustrian dapat menghasilkan SDM Industri yang berkualitas dan kompeten baik dari Aparatur maupun Tenaga Kerja Industri.