Empowerment Pegawai Sebagai Upaya Meningkatkan Kepuasan Kerja Pegawai

Empowerment Pegawai Sebagai Upaya Meningkatkan Kepuasan Kerja Pegawai
upload date

12 July 21

upload date

Uncategorized

Oleh : Tedy Hermawan *)

Stephen P. Robbins menyatakan bahwa organisasi merupakan kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama. Secara umum, organisasi dapat dibedakan ke dalam organisasi profit seperti organisasi perusahaan-perusahaan swasta dan organisasi non profit seperti organisasi pemerintah. Kementerian Perindustrian merupakan sebuah organisasi publik yang dibentuk dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat/pelayanan publik. Tujuan utama dari organisasi ini adalah untuk memberikan layanan dan bukan untuk mencari keuntungan karena organisasi ini merupakan bagian/elemen dari komitmen sebuah negara untuk memberikan layanan kepada warganya.

Sejak Tahun 2016, Kementerian Perindustrian telah mencanangkan nilai dan budaya Kemenperin yaitu Integritas, Profesional, Inovatif, Produktif, dan Kompetitif yang di akronimkan menjadi INSAN OKE. Pada prinsipnya, nilai dan budaya ini merupakan standar yang harusnya menjadi acuan dan perlu dicapai oleh seluruh pegawai Kemenperin. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya nilai-nilai ini bisa tertanam ke dalam masing-masing individu pegawai sehingga dapat meningkatkan semangat kerja pegawai serta kinerja kementerian secara umum?

Sebagaimana kita ketahui bersama, sumber daya manusia dan nilai organisasi merupakan dua unsur penting dalam sebuah organisasi. Kementerian Perindustrian telah memulai proses rekruitmen pegawai yang menghasilkan pegawai-pegawai yang handal dan baik dari sisi kemampuan akademik. Ini menjadi aset yang sangat berharga bagi organisasi. Namun demikian, sebenarnya terdapat permasalahan terkait proses identifikasi kebutuhan pegawai baik terutama dari kesesuaian baik dari sisi jurusan (latar belakang pendidikan) dan level jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan yang akan diserahkan kepada calon pegawai. Dampaknya seringkali ditemui di berbagai satuan kerja di lingkungan Kementerian Perindustrian, banyak pegawai yang telah diterima yang merupakan orang-orang pilihan dengan berbagai macam keahlian yang dimiliki, tidak termanfaatkan dengan baik disiplin ilmunya. Banyak dari mereka terpaksa ditugaskan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan administratif alih-alih mengerjakan pekerjaan yang teknis substanstif. Padahal seharusnya dengan latar belakang dan jenjang pendidikan yang dimiliki, mereka bisa diberdayakan pada pekerjaan-pekerjaan yang lebih strategis. Justifikasi yang seringkali terlontar adalah karena alasan klise “tidak ada orang” lagi. Kondisi ini, selain “merugikan” organisasi juga dapat menimbulkan ketidakpuasan dari pegawai dan pada akhirnya akan berdampak pada menurunnya semangat dan kepuasan kerja pegawai tersebut dalam menjalankan pekerjaan.

Osborn (1982:40) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “derajat positif atau negatif perasaan seseorang mengenai segi tugas-tugas pekerjaannya, tantanan kerja serta hubungan antar sesama pekerja”. Lebih jauh lagi untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja Herzberg, dkk (1959) melakukan penelitian terhadap 200 orang insinyur dan akuntan Pittsburg. Kepada mereka diminta untuk mengambarkan secara detail bilamana mereka merasa puas dan tidak puas dengan pekerjaannya. Dari analisa yang dilakukan terhadap data yang terkumpul, Herzberg dkk, menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja berbeda dengan faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja.

Perbaikan terhadap faktor-faktor yang dapat mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tidak akan otomatis menimbulkan kepuasan kerja karena ini bukan sumber kepuasan kerja. Teori ini yang kemudian dikenal dengan teori dua faktor, yaitu dalam pekerjaan terdapat hygiene factor yang dapat mencegah atau membatasi ketidakpuasan kerja, tetapi tidak dapat memperbaiki kepuasan kerja, serta motivator factor yang dapat memperbaiki kepuasan kerja, tetapi tidak dapat menyelesaikan ketidakpuasan kerja. Yang termasuk ke dalam Hygiene factor antara lain: gaji, tunjangan, hubungan kerja, kondisi fisik lingkungan kerja, keamanan kerja, dll. Sementara yang termasuk ke dalam motivator factor antara lain: reward, pengakuan atas prestasi, peluang untuk tumbuh dan promosi, tanggung jawab atas pekerjaan, tantangan pekerjaan, dll. Empowerment pegawai menjadi salah satu bentuk motivation factor untuk meningkatkan kepuasan kerja pegawai.

Istilah empowerment telah luas digunakan dalam organisasi. Wood dkk (2001), mendefinisikan empowerment sebagai proses dimana pimpinan berusaha membantu bawahan untuk mendapatkan dan menggunakan power yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan terhadap hal-hal yang mempengaruhi kondisi kerja dan keadaan diri bawahan. Ketika kondisi empowerment terbentuk, motivasi pada individu dengan sendirinya ikut berkembang. Motivasi itu sendiri, tidak hanya dapat membangkitkan produktivitas, tapi juga mempengaruhi kemampuan dan menciptakan kondisi kerja yang kondusif (Spector, 2003). Namun empowerment disini lebih menekankan pada pemberdayaan pegawai sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk kemajuan organisasi.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa banyak pegawai yang merupakan orang-orang pilihan dari hasil rekruitmen yang ketat dengan berbagai macam keahlian yang dimiliki “tidak termanfaatkan dengan baik disiplin ilmunya karena terpaksa harus mengerjakan pekerjaan yang sifatnya administratif. Pegawai memang telah mendapatkan imbal hasil yang cukup dari gaji dan tunjangan kinerja serta penghasilan tambahan dari berbagai kegiatan yang ada. Jika kondisi ini dihubungkan dengan teori dua faktor dari Herzberg, maka hygiene factor di Kemenperin sepertinya tidak terlalu bermasalah bagi kepuasan kerja pegawai saat ini. Permasalahan justru terdapat pada motivator factor yaitu terkait dengan: pekerjaan itu sendiri (the work it self), prestasi yang diraih (achievement), peluang untuk maju (advancement), pengakuan orang lain (recognition), tanggung jawab (responsible).

Pegawai yang “tidak termanfaatkan” tersebut akan sedikit terganggu “kepuasan kerja”nya akibat dari tugas-tugas yang dikerjakan saat ini tidak sesuai dengan kompetensi dan ekspektasi mereka. Pekerjaan rutinitas administratif dirasa kurang menantang dan justru membuat pegawai menjadi stagnan atau tidak  berkembang. Lama kelamaan hal ini akan menyebabkan penurunan kepuasan kerja pegawai.

Solusi yang dapat diambil adalah dengan melakukan perbaikan pada faktor ini dengan memberikan kepercayaan lebih dan porsi pekerjaan yang lebih menantang kepada pegawai sesuai dengan kompetensinya. Dengan meminjam teori dua faktor dari Herzberg maka pimpinan di semua level harus mulai fokus untuk menjamin faktor motivator yang dapat mendorong peningkatan kepuasan kerja pegawai. Pimpinan harus dapat memastikan setiap pegawai diberikan tugas pekerjaan yang menantang sesuai keahliannya sehingga bisa lebih bermanfaat bagi organisasi, sehingga pegawai akan lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras dan lebih baik lagi. Dengan demikian diharapkan nilai-nilai Integritas, Profesional, Inovatif, Produktif, dan Kompetitif (INSAN OKE) bisa dilaksanakan oleh seluruh pegawai sesuai dengan peran dan beban tanggung jawabnya masing-masing.

*) Penulis merupakan Widyaiswara Muda pada Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan SDM Aparatur BPSDMI Kementerian Perindustrian

COMMENT

bpsdmi
 
loc
speak up
speak up